Senin, 28 Januari 2008

BPK Bagikan Pesangon PHK 54 Buruh

Agus Wahyuni
Borneo Tribune, Pontianak

Akhirnya proses tripartit antara buruh, PT Bumi Pratama Khatulistiwa (BPK) dan Disnakertrans menuai hasil. Dalam keputusannya, sebanyak 54 buruh sepakat menandatangani surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan besaran pesangon yang didapat berdasarkan undang-undangan perburuhan, UU Nomor 13 Tahun 2003. Kesepakatan berlangsung di kantor BPK, Fase Satu, Kamis (24/1).

Penandatanganan tersebut disaksikan langsung PGA Manager BPK Petrus Silaban dan Kabid Hubungan Industrial dan Pengawasan Tenaga Kerja, Sabar Hati Duha.

Sabar mengatakan, besaran pesangon dihitung gaji tertinggi tiga bulan terakhir, kemudian dirata-rata dan dikalikan dua, plus ditambah masa kerja. Berdasarkan Undang–undang, sebagian buruh mendapatkan pesangon melebihi Rp 10 juta. Berbeda dari aksi mogok kerja buruh beberapa waktu lalu, yang meminta pukul rata Rp 10 juta. “Ini solusi terbaik dari hasil tripartit beberapa hari lalu, dan mereka menyambut baik,” kata Sabar.

Petrus menimpali, sejak awal pihak perusahaan tidak menghendaki adanya PHK. Namun, dari pihak buruh sendiri yang menghendaki. “Kita tidak bisa memaksa. Dari yang semula 79 buruh meminta PHK, yang tertinggal hanya 54 saja. Sisanya masih kembali bekerja. Mengenai tuntutan buruh sebelumnya yang meminta kenaikan harga, akan ditindaklanjuti. Untuk sementara, perusahaan masih menyelesaikan admisnistrasi buruh yang meminta PHK.

PembagianPesangon Sarat Kepentingan
Ketua Persatuan Buruh Kalbar, Puryadi mengatakan, sebanyak 54 buruh berinisiatif meminta PHK. Ia menilai sarat kepentingan dan sebuah skenario yang dibuat manajemen perusahaan. Apalagi dengan terlibatnya polisi dan TNI dalam penuntasan masalah administrasi an pembayaran kepada para buruh.

Menurutnya, ini bisa dilihat dari pembagian pesangon. Pihak buruh tidak mempunyai pegangan risalah yang ditandatangani pihak yang menandatangani. Diantaranya tripartit tadi.

Aksi mogok kerja beberapa waktu lalu, menuntut pesangon dengan jumlah pukul rata, Rp 10 juta per buruh. Hal itu sudah disepakati bersama sesama buruh. Kemudian berujung keputusan pembagian pesangon berdasarkan UU Perburuhan.

Menurut Puryadi, itu sesuatu yang lumrah tejadi. Dan itu sering terjadi di perusahaan lain, ketika ada dwipartit. Ia menilai, peran mediasi yang lebih berpihak pada perusahaan, katanya.

“Ini bisa dilihat pembagian pesangon. Pihak buruh tidak mempunyai pegangan risalah pihak yang menandatangani, diantaranya tripartit tadi,” kata Puryadi.

Seperti yang dialami Surami, buruh yang mengabdikan diri selama tiga tahun empat bulan. Ia merasa tidak puas hasil besaran pesangon yang didapat. Malam sebelumnya, ia bersama asisten lapangan BPK, disaksikan beberapa staf memperlihatkan tanda terima pesangonnya. Di kertas itu tercantum sebesar Rp 16 juta. Tetapi keesokan harinya, nominalnya berubah menjadi Rp 7 juta. Saat dikonfirmasi, pihak manajemen mengatakan, ada kesalahan komputer dalam mendata.

“Saya ini hanya orang kecil, jika alasannya kesalahan komputer, saya tidak bisa menerima alasan itu. Seperti teman saya yang masa kerjanya di bawah saya, pesangonnya lebih besar dari saya,” tuturnya.

Di tempat terpisah, pengamat Psikologi Hukum dan Tata Pemerintahan Daerah, Turiman Fachturahman mengungkapkan, Depnakertrans kapasitasnya sebagai mediasi tripartit, antara karyawan maupun perusahaan. Depnakertran seharusnya memberikan banyak alternatif keputusan yang diambil pada kedua belah pihak, agar bisa memilih mana yang terbaik.

Ia mencontohkan seperti beberapa hotel dan perusahaan lainnya yang memberikan banyak solusi. Sebaliknya, Depnakertrans jangan sampai hanya memberikan satu solusi, sehingga nantinya terkesan mementingkan satu pihak saja.

Di tempat terpisah, pihak mediasi, Deni Marpaung mengatakan, dari informasi yang di dapat sekarang ini, pihak perusahaan menyepakati pembayaran pesangon sesuai dengan Undang-Undangan Perburuhan yang diserahkan ke Depnakertrans Kabupaten Pontianak.

Dari tuntutan Rp 10 juta dengan pukul rata secara hukum tidak bisa. Karena ada beberapa karyawan masa kerjanya belum sampai setahun. Di samping itu, akan merugikan buruh itu sendiri. Sesuai UU No 13 Tahun 2003, dalam pembagian pesangon sesuai dengan masa kerja, belum lagi ditambah uang penghargaan, jika ditotalkan bisa lebih Rp 10 juta.

Ia juga mengimbau kepada buruh, agar memikirkan masak-masak keputusan yang di ambil. Jika dilihat secara seksama, kenaikan harga tandan buah bisa dimusyawarahkan lagi, untuk mencapai kata sepakat.
Akibat pemogokan ini, perusahaan sekarang mengalami kerugian lima belas persen perhari dari hasil poduksi. Terakhir, ia juga menghimbau kepada Depnakertrans, jangan arogan mengatasi perburuhan. “Depnakertrans fungsinya memediasi dan bukan pengambil keputusan,” kata Deni.□

Tidak ada komentar: