Senin, 11 Februari 2008

BURUH

Aku masih disibukkan mengangkut kayu-kayu itu dari Tongkang bersandar di kampung BL untuk membongkar muatan. Kayu gelondongan yang dibawa dari pulau jawa lewat sungai besar yang membelah kampung. Tiba-tiba buruh- buruh lain berhamburan keluar. Tepat tengah hari. Tak lama Pak Sukidi datang menarik tanganku hingga ke alun-alun kantor depan. Bangunan bertembok putih berlantai tiga selalu terawat rapi. Hanya beberapa meter dari gudang tua tempat aku, buruh lain bekerja. Lelaki berkumis tebal, tinggi semampai menarikku kian laju tanpa sepatah kata. Seperti ada yang mau ditunjukkan padaku. Tak terdengar lagi suara deru mesin-mesin pemotong di gudang, yang terdengar hanyalah teriakan keluh kesah buruh sebulan tak digaji. Betapa tidak, saat tanganku dilepas. Aku sudah berada di himpitan penuh sesak di kerumun ribuan buruh di alun-alun itu. Tak terbayang bau keringat menguap. Seiring teriknya matahari siang hingga tercium ke dalam kantor depan. Tempat bapak-bapak berdasi, melahap rezeki. Pintu jendela tertutup rapat. Entah itu menggelar rapat atau merapatkan diri. Tampak pagar betis aparat berjaga-jaga. Tentengan senjata siap menghabisi buruh yang kepingin mati. Aku duduk di bawah beringin rindang di sela akar menjulur keluar, tarik napas buang napas. Sambil memikirkan Entah berapa liter peluh jatuh di aspal. Telihat satu dua orang roboh, kepala berdarah dipukul pentongan aparat saat berusaha menerobos masuk. Sepertinya buruh tak pernah lelah, apalagi kalah. Semakin lama demonstran itu semakin banyak. "naikkan gaji kami. Kami sudah lelah kerja." Suara buruh keluar seirama dentuman drum bekas, Tiupan teropet, seakan membakar semangat buruh untuk tetap melanjutkan demontrasi. Tak lama lelaki setengah baya. Bekaca mata, baju kemeja putih lusuh dan kumal keluar dari kantor itu. Di kawal beberapa aparat mencoba mendekati demonstran. Lalu berkata-kata "sudah puluhan tahun bertemu di sini, beranak bercucu. Sampai kita bertemu kembali disini. Bukan maksud mentelantari apalagi menyakiti. Perusahaan ini bak simalakama."semakin hari lonceng kematian industri kayu terdengar dekat. Lihat tetangga kita semuanya sudah gulung tikar. Hari ini, lusa atau nanti kita akan menyusul." "Cukup pak joko." korlap demonstran berteriak. "Apapun alasannya, kami tetap menuntut hak kami. Krisis moneter telah melanda negeri ini. Kayu-kayu ini akan di tukar ribuan dollar. Tapi tidakkah bapak merasakan. Tangan-tangan kasar kami puluhan tahun mengabdi. Keringat-keringat darah keluar demi anak cucu. Gaji kami tidak senaik harga sembako." Pak joko terdiam seribu bahasa. Di tatapnya raut wajah kusam karyawannya, kemudian kembali masuk kantor. Dengan pintu kembali tertutup rapat. Pemandangan ganjil terlihat di sana. pak Sukidi, dan bapak-bapak lain. Semuanya yang kukenal pendiam saat bekerja. Bungkam saat di sapa, terpejam saat menyapa. Kali ini lain. Suara-suara lantang menggema dari mulut mereka yang terpendam puluhan tahun.

***
Di perkampugan buruh, di tepian sungai kapuas belasan kilo meter dari kota. Aku berdiri dalam gelap. Diantara balok-balok membumbung tinggi, mesin-mesin penggilas. Dan pakaian-pakaian khas buruh di sini. Tepat tiga tahun lalu awal aku bekerja. Pak Sukidilah yang mengajakku kesana. Teman lama ayah. Sebelum ayah di PHK di perusahaan SL karena bangkrut. Lalu ayah memutuskan untuk bertani. Dan pak Sukidi melamar di perusahaan kayu. Kata orang perusahaan terbesar di pulau ini. Aku gamang memikirkan hendak kemana seusai tamat sekolah. Di saat Teman-temanku kembali melanjutkan ke Perguruan Tinggi. "Heny Handayani, baiknya kau ikut pak Sukidi untuk bekerja di sana. Besok, sebelum fajar menyingsing. Kau siapkan ijasah dan surat-surat lainnya."Suara ayah terdengar sedikit memaksa. "Kerja apa yah?" tanyaku. "Buruh.?" "Disana kau akan banyak belajar agar bisa bertahan hidup. Harus mengeluarkan keringat letihmu dulu baru mendapatkan sesuap nasi. Jangan berharap berapa banyak nasi yang kau dapat. Tapi berapa besar pengabdianmu disana. Seperti teman ayahmu ini." Jawab ayah. Pak Sukidi hanya tersenyum kecil sambil menatapku pelan. *** Pergi pagi pulang malam, pergi malam pulang pagi adalah biasa di perkampungan ini. Biasa karena tak berkata-kata. Bukan berarti tak boleh berkata melainkan termakan bunyi mesin yang selalu bersua. Kalau bercerita, sekedar menyapa biasanya jam istirahat. Merebahkan badan di atas tilam menyatu lantai. Itupun jika tersadar. Tidak pada pak sukidi dan bapak lainnya. Lebih banyak mengasingkan diri. Diam seperti memikirkan sesuatau atau terjadi sesuatu. Mereka-mereka adalah mandor di sini. Selalu tunduk kala di suruh, tegak jika menyuruh. Itu semua karena pak Joko. Semua mata menatap terkesima. Sosok itu berdiri seperti magnet yang kuat. Memukau dengan segala pesona yang dimilikinya. Tubuhnya tinggi menjulang, dan wajahnya memancrkan keangkuhan yang sempurna. Sepertinya pak Joko sangat ditakuti buruh-buruh di sini. Dan bapak-bapak yang diam tadi. Karena ia pimpinan diperusahan ini. Sedikit berkata, menyentuh di hati bila bersuara.yang lain hanya mangguk atau menundukkan kepala.
***
Hari mulai gelap. Suara-suara lantang masih menggema, terlihat raut muka beringas para demonstran. Seperti pak Sukidi "ternyata bapak-bapak di dalam sana hanya mendengarkan tapi tak berani keluar. "keluar Joko, Marahi kami yang tertindas ini, seperti waktu kau marah di dalam gudang itu." Pak Sukidi maju lalu melempar batu tepat mengena kaca di bagian atas lantai tiga. Hingga pecah berderai. Lalu diikiuti yang lain. Selang beberapa lama. Prahara itu datang. Menggulung bentang cakrawala, memudarkan bianglala, menarik fajar. Dan di kejauhan, bergerak bayang-bayang malam. Malam itu aku masih belum beranjak dari beringin itu. Tiba-tiba pak Pak sukidi duduk di sampingku sambil tersenyum sama seperti senyuman pertama kali kulihat saat ayah memujinya waktu itu. Lalu menghilang. Door, door, door. Tiga kali suara letusan senapan membuatku tersentak seketika. Kulihat seorang lelaki terperungkup bersimbah darah segar, mengental. AKu maju mendekati lalu membalikkan saat demonstran kontan mundur seketika. Aku hanya diam beribu tangisan. Kudapatkan pak Sukidi tersenyum dengan peluru di dada lalu berkata "Heny karyawanku, tolong sampaikan maaf bapak pada yang lainnya. Tak bisa lagi bapak menemani apalagi memenuhi permintaan itu. Sepertinya lonceng kematian sudah tiba, bapak dan perusahaan ini. Di kejauhan tampak bapak-bapak berdasi menggotong mayat, tertutup selimut putih. Tak lain pak Joko. Tak tahu penyebab kematiannya. Hanya terdengar desas desus "terkena serangan jantung. Di saat batu menderaikan kaca akibat lemparan pak Sukidi. Suasana malam menjadi hening, sepi. Suara-suara lantang yang menggema sedari tadi kini tinggal deru mesin-mesin bernyanyi tak bertuan. **

Tidak ada komentar: